Kamis, 03 September 2015

Syi’ah dan Kemaksuman Para Imam

SYI’AH DAN KEMAKSUMAN PARA IMAM
 
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Kaum Syiah Rafidhah meyakini bahwa 12 imam mereka memiliki sifat ishmah (maksum). Menurut mereka, maksum adalah tidak pernah berbuat dosa besar ataupun kecil, bahkan tidak pernah melakukan kesalahan sama sekali, baik ucapan maupun perbuatan. Disebutkan oleh al-Majlisi dalamBiharul Anwar, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Syiah Imamiyah (Rafidhah, -pen.) bersepakat atas kemaksuman para imam—‘alaihimus salam—dari dosa-dosa, yang kecil dan yang besar. Mereka sama sekali tidak memiliki dosa, baik secara sengaja, lupa, keliru dalam penakwilan, maupun Allah Subhanahu wata’ala yang menjadikannya lalai.” (Biharul Anwar, 25/211, Ushul Madzhab asy-Syiah, 775)

Demikian pula yang ditegaskan oleh seorang tokoh Syiah yang hidup di abad keempat, Ibnu Babawaih. Ia berkata, “Agama Syiah Imamiyah menyatakan, ‘Keyakinan kami tentang para imam, mereka adalah maksum, disucikan dari setiap kotoran, tidak pernah berbuat dosa kecil ataupun besar, dan tidak pernah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam hal yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan, serta senantiasa mengerjakan apa saja yang diperintahkan. Siapa yang mengingkari kemaksuman mereka dalam keadaan apa pun, sungguh ia telah menuduh mereka jahil. Siapa yang menuduh mereka jahil, sungguh ia telah kafir. Keyakinan kami terhadap mereka bahwa mereka maksum, memiliki sifat yang sempurna dan ilmu yang sempurna dari awal urusan mereka hingga akhirnya. Setiap keadaan mereka tidak memiliki sifat kekurangan, maksiat, dan tidak pula kejahilan’.” (al-I’tiqadat, hlm. 108—109, Ushul Madzhab Syiah, 780)

Mereka juga berkata, “Sesungguhnya para sahabat kami dari kalangan Syiah Imamiyah telah bersepakat bahwa para imam itu maksum dari berbagai dosa kecil ataupun besar, secara sengaja, keliru, ataupun lupa, sejak mereka lahir hingga bertemu Allah Subhanahu wata’ala.” (Biharul Anwar, 25/350—351)
Kesimpulan dari apa yang disebutkan di atas, bahwa:
  1. Yang dimaksud maksum menurut versi Syiah adalah tidak pernah berbuat dosa apa pun, kecil atau besar, bahkan tidak pernah keliru, lalai, dan lupa.
  2. Kemaksuman para imam adalah hal yang telah disepakati/ijma’ ulama.
  3. Siapa yang mengingkari kemaksuman para imam, dia kafir dan keluar dari Islam.
Anehnya, tatkala menafikan adanya sifat sahwu (lupa) dari para imam, mereka menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami kelupaan. Mereka anggap pendapat yang mengingkari adanya sifat lupa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai mazhab yang ghuluw dan melampaui batas. Al-Majlisi berkata dalam kitabnya, Man La Yahdhuruhul Faqih, “Sesungguhnya para ghulat (kelompok yang berlebihlebihan) dan ahli tafwidh—semoga Allah Subhanahu wata’ala melaknat mereka—mengingkari sifat lupa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mereka berkata, ‘Seandainya bisa terjadi kelupaan di dalam shalat, bisa pula terjadi kelupaan dalam menyampaikan agama. Sebab, shalat adalah kewajiban sebagaimana halnya meyampaikan agama juga kewajiban… Lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sama dengan lupanya kita karena lupa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mberasal dari Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala yang menjadikannya lupa dalam rangka mengabarkan bahwa beliau adalah manusia biasa dan seorang makhluk, sehingga tidak dijadikan sebagai Rabb yang disembah selain-Nya.

Selain itu untuk menerangkan kepada manusia hukum sujud sahwi saat terjadi kelupaan. Adalah Syaikh kami, Muhammad bin al-Hasan bin Ahmad bin al-Walid berkata, ‘Tingkatan ghuluw yang pertama adalah mengingkari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lupa. Aku mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wata’ala untuk menulis sebuah kitab khusus yang menetapkan sifat lupa bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bantahan terhadap para pengingkarnya’.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/234)

Bahkan, ar-Ridha menetapkan bahwa sifat lupa dapat dialami oleh siapa saja, bahkan para imam mereka sekalipun. Ia berkata, “Sesungguhnya yang tidak pernah lupa hanyalah Allah Subhanahu wata’ala. Kitab kitab Syiah banyak meriwayatkan berita tentang lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/233)

Oleh karena itu, dalam kitab-kitab Syiah sendiri banyak sekali dinukil bahwa para imam mereka mengalami kesalahan dan kelupaan.Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah yang disebutkan dalam kitab Nahjul Balaghah—salah satu kitab kebanggaan kaum Syiah—tentang doa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي فَإِنْ عُدْتُ فَعُدْ عَلَيَّ باِلْمَغْفِرَةِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا وَأَيْتُ مِنْ نَفْسِي وَلَمْ تَجِدْ لَهُ وَفَاءً عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا تَقَرَّبْتُ بِهِ إِلَيْكَ بِلِسَانِي ثُمَّ خَالَفَ قَلْبِي، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي رَمَزَاتِ الْأَلْحَاظِ وَسَقَطَاتِ الْأَلْفَاظِ وَشَهَوَاتِ الْجِنَانِ وَهَفَوَاتِ اللِّسَان

“Ya Allah, ampunilah aku sesuatu yang Engkau lebih mengetahui dariku, dan jika aku mengulanginya, kembalilah kepadaku dengan ampunan-Mu. Ya Allah, ampunilah aku terhadap apa yang aku janjikan pada diriku lalu Engkau mendapatiku tidak menepatinya. Ya Allah, ampunilah aku terhadap sesuatu yang aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan lisanku, tetapi hatiku menyelisihinya. Ya Allah, ampunilah aku dari cibiran mata (merendahkan atau mengolokolok, –pen.), dan ketergelinciran lafadz ucapan, syahwat hati, dan kekeliruan lisan.” (Nahjul Balaghah, hlm. 104)

Seandainya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap sebagai imam yang maksum, lantas mengapa beliau berdoa memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wata’ala  dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana yang disebutkan oleh riwayat ini? Demikian pula, mereka meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq bahwa beliau berkata,
إِنَّا لَنُذْنِبُ وَنَسِيءُ ثُمَّ نَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا

“Sesungguhnya kami berbuat dosa dan keburukan, lalu kami bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya.” (Biharul Anwar, 25/207)

Kaum Syiah juga meriwayatkan dari salah seorang imam mereka, Abul Hasan Musa al-Kazhim, ia berkata, “Wahai Rabbku, aku bermaksiat kepada-Mu dengan lisanku. Seandainya Engkau berkehendak, tentu Engkau telah menjadikanku bisu. Aku bermaksiat kepada-Mu dengan pandanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku buta. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan pendengaranku,jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku tuli. Aku bermaksiat kepadamu dengan tanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku buntung. Aku telah bermaksiat kepada- Mu dengan kemaluanku, jika Engkau ingin, Engkau telah menjadikanku mandul. Aku bermaksiat kepada-Mu dengan kakiku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku lumpuh. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan seluruh anggota tubuhku yang telah Engkau berikan kepadaku sebagai kenikmatan, dalam keadaan aku tidak mampu membalas-Mu.” (Biharul Anwar, 25/203)

Masih banyak riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab kaum Syiah sendiri yang menetapkan bahwa para imam pun tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, al-Majlisi bingung menyikapi masalah kemaksuman para imam ini karena banyak riwayat yang menunjukkan bahwa para imam mereka pun mengalami kelupaan dan kesalahan. Sementara itu, di sisi lain dia harus berhadapan dengan pernyataan para tokoh Syiah lainnya yang menganggap hal ini sebagai ijma’ dan mengafirkan orang yang mengingkari kemaksuman para imam. Ia berkata, “Masalah ini memang sangat rumit. Sebab, banyak riwayat dan ayat yang menunjukkan adanya kelupaan yang mereka (para imam, -pen.) alami, padahal para sahabat kami bersepakat—kecuali yang ganjil pendapatnya—tidak bolehnya hal tersebut terjadi pada mereka.” (Biharul Anwar, 25/351, Ushul Madzhab Syiah, 782)

Maksum Versi Ahlus Sunnah

Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terpelihara dan terjaga dalam menyampaikan wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala kepada umatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa mereka (para Nabi) adalah maksum (terpelihara) dalam hal yang mereka sampaikan dari Allah Subhanahu wata’ala. Tidak mungkin Allah Subhanahu wata’alamembiarkan mereka salah menyampaikan risalah dari-Nya. Dengan ini, tercapailah tujuan diutusnya (par rasul). Adapun sebelum diutus sebagai nabi tidak pernah bersalah atau berbuat dosa, tidak ada keharusan seperti itu dalam sifat kenabian.” (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 2/395)

Syi’ah dan Imamah

SYI’AH DAN IMAMAH
 
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Keimaman dalam agama Syiah adalah prinsip yang paling utama. Seluruh keyakinan dan seluruh riwayat mereka kembali kepada masalah keimamahan ini. Masalah imamah (kepemimpinan) inilah yang menjadi inti ajaran dan asal muasal lahirnya pemikiran Syiah yang dibawa oleh Abdullah bin Saba’. Kitab-kitab Syiah mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang yang pertama memopulerkan keyakinan wajibnya meyakini kepemimpinan (keimamahan) Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhu, menampakkan sikap berlepas diri dari musuh-musuhnya, dan menyingkap para penentangnya, serta mengafirkan mereka. (Rijal al-Kisysyi, hlm.108—109, al- Maqalat wal Firaq, hlm. 20 karya an Nubakhti, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 654)
Itu pula yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama yang memunculkan pendapat tentang keimamahan Ali radhiyallahu ‘anhu. (al-Milal wa an-Nihal,1/174)

Menurut kaum Syiah, pengangkatan imam adalah janji yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka satu per satu. Dalam kitab al-Kafi disebutkan sebuah bab dengan judul “Imamah Adalah Janji dari Allah Subhanahu wata’ala yang Telah Ditetapkan dari Seseorang kepada yang Lain”. Ada juga bab “Nash yang Disebutkan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Terhadap Para Imam Satu Persatu”. (al-Kafi, 1/227 dan 1/286)

Salah seorang tokoh rujukan Syiah, Muhammad Husain Alu Kasyifil Ghitha, berkata, “Imamah adalah kedudukan ilahiah seperti halnya kenabian. Sebagaimana halnya Allah Subhanahu wata’ala memilih siapa yang Dia kehendaki dari parahamba-Nya menjadi nabi dan rasul, lalu menguatkannya dengan mukjizat sebagai pembuktian nash dari Allah Subhanahu wata’ala…, demikian pula Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya menjadi imam dan memerintah Nabi-Nya untuk menyebutkannya secara tegas, dan mengangkatnya sebagai pemimpin bagi umat manusia setelahnya.” (Ashlus Syiah wa Ushuluha, hlm. 58, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 655)

Kedudukan Imamah dalam Agama Syiah

Di dalam agama Syiah, kedudukan imamah jauh lebih mulia dari kedudukan seorang nabi utusan Allah Subhanahu wata’ala. Inilah yang dijelaskan oleh para tokoh Syiah. Ni’matullah al-Jazairi berkata, “Keimamahan yang bersifat umum yang merupakan kedudukan di atas tingkatan kenabian dan kerasulan….” (Zahrur Rabi’, hlm. 12)

Hadi at-Taharani berkata, “Keimaman lebih agung daripada kenabian. Sebab, keimamahan adalah kedudukan ketiga yang Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Ibrahim dengannya setelah kedudukan nabi dan khalil.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 114)

Ia juga mengatakan, “Sesungguhnya yang paling agung dalam agama yang Allah Subhanahu wata’ala mengutus Nabi-Nya ini adalah masalah imamah.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 115)

Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima hal: shalat, zakat, puasa, haji, dan keimaman (kepemimpinan). Tidak ada sesuatu yang lebih penting untuk didakwahkan selain kepemimpinan. Namun, manusia mengambil yang empat dan meninggalkan yang satu ini.” (Ushul al-Kafi, 2/18)

Perhatikanlah riwayat yang mereka sebutkan di atas… Mereka menjadikan masalah imamah sebagai pengganti dua kalimat syahadat!! Di samping itu, menjadikannya sebagai rukun Islam yang terpenting. Adakah kesesatan yang melebihi kesesatan mereka ini?

Berapa Jumlah Imam?

Kaum Syiah berselisih pendapat dalam menyebutkan jumlah imam mereka. Disebutkan dalam Mukhtashar at-Tuhfah, “Ketahuilah bahwa Imamiyah berpendapat bahwa jumlah imam itu terbatas, namun mereka berselisih tentang jumlahnya. Sebagian mengatakan lima, sebagian lagi mengatakan tujuh, sebagian lagi mengatakan delapan, sebagian lagi mengatakan dua belas, dan sebagian mengatakan tiga belas.” (Mukhtashar Tuhfah, hlm.193, Ushul Madzhab asy- Syiah, hlm. 666)

Kemudian terjadi kesepakatan bahwa jumlah imam terbatas menjadi dua belas, setelah meninggalnya al-Hasan al-Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Tidak ada seorang pun dari keturunan keluarga Nabi dari bani Hasyim,baik di masa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, maupun Ali Radhiyallahu ‘anhuma, yang berpendapat bahwa imam itu berjumlah dua belas.” (Minhajus Sunnah, 2/111) Beliau juga berkata, “Sebelum wafatnya al-Hasan (yakni al-Hasan bin Ali al-‘Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas kaum Syiah), tidak seorang pun yang berpendapat imam muntazhar sebagai imam mereka yang kedua belas. Tidak ada seorang pun di zaman Ali dan zaman bani Umayyah yang menetapkan jumlah imam dua belas.” (Minhajus Sunnah, 4/209) Dua belas imam yang ditetapkan oleh kaum Syiah Imamiyah adalah:

  1. Ali bin Abi Thalib, Abul Hasan al-Murtadha
  2. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad az-Zaki
  3. Al-Husain bin Ali, Abu Abdillah asy-Syahid
  4. Ali bin al-Husain Abu Muhammad, Zainul Abidin
  5. Muhammad bin Ali Abu Ja’far al-Baqir
  6. Ja’far bin Muhammad, Abu Abdillah ash-Shadiq
  7. Musa bin Ja’far Abu Ibrahim al-Kazhim
  8. Ali bin Musa Abul Hasan ar-Ridha
  9. Muhammad bin Ali, Abu Ja’far al-Jawad
  10. Ali bin Muhammad Abul Hasan al-Hadi
  11. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad al-Askari
  12. Muhammad bin al-Hasan Abul Qasim al-Mahdi

Namun, disebutkan dalam kitab yang paling pertama yang tampak dari kalangan Syiah, yaitu kitab Salim bin Qais, dia justru menetapkan bahwa jumlah imam itu ada tiga belas. Bahkan, dalam sebagian riwayat kaum Syiah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tidak masuk dalam daftar sebagai imam yang berjumlah dua belas. Dalam kitab yang paling sahih menurut versi Syiah, terdapat riwayat

yang menerangkan bahwa imam mereka berjumlah tiga belas. Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya aku dan dua belas imam dari keturunanku. Adapun engkau, wahai Ali, adalah kancingnya bumi, yaitu sebagai pancang dan bukitnya. Dengan kami, Allah Subhanahu wata’ala mengokohkan bumi agar tidak lenyap bersama penghuninya. Jika dua belas dari keturunanku telah pergi, bumi ini akan lenyap beserta penghuninya dan mereka tidak memerhatikannya.” (Ushul al-Kafi, 1/534)

Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Ja’far, dari Jabir, ia berkata, “Aku masuk bertemu Fatimah. Di hadapannya ada lempengan yang di dalamnya bertuliskan nama-nama (imam) yang diberi wasiat dari keturunannya. Fatimah menghitungnya berjumlah dua belas. Yang terakhir adalah al-Qaim. Tiga di antara mereka bernama Muhammad, dan tiga di antara mereka bernama Ali.” (Ushul al-Kafi, 1/532)

Lihatlah, riwayat ini menyebutkan bahwa imam dua belas itu berasal dari keturunan Fatimah. Jadi, Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dari kalangan imam mereka karena beliau adalah suami Fatimah, bukan anaknya. Adanya perselisihan penentuan jumlah imam, menunjukkan bahwa pembatasan dua belas imam tersebut sama sekali tidak dibangun di atas landasan yang jelas dari kitabullah atau sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas bagaimana bisa hal ini dianggap sebagai bagian rukun Islam, bahkan menggantikan posisi dua kalimat syahadat?

Bantahan Untuk Syubhat Batil Kaum Khawarij

BANTAHAN UNTUK SYUBHAT BATIL KAUM KHAWARIJ

Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Bagaimana kita membantah orang yang berdalil bolehnya memberontak terhadap penguasa dengan alasan bahwa sebagian shahabat memberontak kepada khalifah (penguasa)?

Soal:
Ahsanallahu ilaikum (semoga Allah senantiasa berbuat baik kepada antum). Ini adalah pertanyaan keenam pada pelajaran ini. Penanya berkata, “Bagaimana kita membantah orang yang membolehkan untuk memberontak kepada penguasa dengan dalil bahwa Abdullah bin az-Zubair dan al-Hasan bin Ali -semoga Allah meridhai mereka- memberontak kepada khalifah?

Jawaban:
Pertama: Jangan kalian lupa terhadap apa yang telah saya sebutkan kepada kalian beberapa dalil,

((إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا))

“Jika para shahabatku disebut, tahanlah (diri-diri kalian, pen)”
Juga hadits,

لا تسبوا أصحابي

“Janganlah kalian mencela para shahabatku.”

Kedua: Tidak ada ucapan seorangpun yang (dikedepankan, pen) setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita menahan (diri-diri kita) untuk bertindak zhalim kepada kedua shahabat tersebut dan para shahabat yang lainnya. Kewajiban kita semua adalah mendengar dan taat kepada wali amr (pimpinan) kaum muslimin.

Alihbahasa; Ustadz Abu Bakar Jombang حفظه الله

Sumber : http://ar.miraath.net/fatwah/10431


BANTAHAN UNTUK SYUBHAT BATIL KAUM KHAWARIJ
Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله


Download Audio

Rabu, 02 September 2015

Bantahan Terhadap Pihak Yang Menyamakan Antara: Watsiqoh Muhammad Al Imam dengan Fitnah Pemaksaan Keyakinan Bahwa Al-Qur’an Adalah Makhluq

BANTAHAN TERHADAP PIHAK YANG MENYAMAKAN antara: WATSIQAH MUHAMMAD AL-IMAM, dengan FITNAH PEMAKSAAN KEYAKINAN BAHWA AL-QUR’AN ADALAH MAKHLUQ (pada masa al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)
 
Asy-Syaikh Abul Abbas Yasin bin Ali Al-Adny hafizhahullah

بسم الله الرحمن الرحيم، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه. أما بعد:

Telah muncul kekacauan yang aneh, perkara yang membingungkan, dan kerancuan yang mengherankan dari sebagian orang –semoga Allah memberikan taufiq kepada kita dan mereka– yaitu berkaitan dengan “Watsiqah” (Surat Perjanjian Damai) yang ditandatangani oleh Muhammad Al-Imam bersama kaum Rafidhah yang jahat dan hina. Watsiqah tersebut telah membuka fitnah yang besar terhadap Dakwah Salafiyah.

Maka saya ingin mengingatkan orang-orang itu dan melenyapkan kerancuan yang tiba-tiba saja muncul dari mereka ini.

Dengan hanya memohon pertolongan kepada Allah saja demi meraih tujuan yang diharapkan, maka saya katakan:

Sesungguhnya memahami perbedaan-perbedaan dalam banyak hal, termasuk ilmu yang bermanfaat. Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah di dalam Al-Qawaid Al-Mutsla hal. 187:

فتنبَّهْ للفَرق؛ فإن التنبَّه للفروق بين المتشابهات من أجود أنواع العلم، وبه يزول كثير من الإشكالات.

“Maka hendaknya engkau benar-benar memperhatikan berbagai perbedaan dengan seksama, karena memperhatikan berbagai perbedaan di antara perkara-perkara yang serupa termasuk jenis ilmu yang PALING BAGUS, dan dengannya akan hilanglah berbagai kesalahpahaman.”

Perbedaan antara Watsiqah Muhammad Al-Imam dengan fitnah pemaksaan keyakinan bahwa al-qur’an adalah makhluq, dari dua sisi:

Pertama: Pihak yang melakukan memaksakan keyakinan al-Qur’an makhluq, adalah pihak penguasa (Al-Ma’mun), sehingga para ulama tidak mampu untuk lari darinya, karena semua negeri-negeri kaum Muslimin di bawah kekuasaannya. Bahkan ketika itu Al-Ma’mun memerintahkan para bawahannya agar “menguji” para ulama (apakah mau menerima doktrin tersebuat atau tidak, pen).

As-Suyuthy berkata dalam Tarikh al-Khulafa’ hal. 227: “Dia (Al-Ma’mun –pent) menulis sebuah surat kepada bawahannya di Baghdad –yaitu Ishaq bin Ibrahim Al-Khuza’iy– agar “menguji” para ulama, di dalam surat tersebut dia mengatakan…”

Adapun Muhammad Al-Imam maka sesungguhnya orang-orang yang dia menandatangani Watsiqah tersebut bersama mereka, bukanlah penguasa dan dia (al-Imam, pen) bisa lari dari mereka ke tempat yang aman.

Bahkan Abu Malik Ar-Riyasy telah mengabarkan kepada saya bahwa Muhammad Al-Imam mengabarkan kepadanya ketika dia pulang dari haji, dengan mengatakan : “SESUNGGUHNYA ASY-SYAIKH RABI’ MENYURUH SAYA AGAR KELUAR MENINGGALKAN MA’BAR.”

Kedua: Orang-orang yang memenuhi keinginan Al-Ma’mun dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq, mereka melakukan hal itu hanyalah karena takut akan dibunuh.

Adz-Dzahaby berkata dalam Tarikhul Islam (XV/21, tahqiq Dr. Umar Tadmury –pent): “Ketika itu Yahya bin Ma’in dan selainnya mengatakan: “Kami terpaksa memenuhinya karena takut terhadap pedang.”

Ash-Shafady berkata dalam Al-Wafy bil Wafayat, XXI/126: “Al-Farahayany dan selainnya mengatakan: ‘Orang yang paling mengetahui ilal (ilmu tentang cacat hadits –pent) di masanya adalah Ali Ibnul Madiny, dan yang nampak bahwasanya dia memenuhi ajakan untuk mengucapkan keyakinan Ibnu Abi Du-ad, karena takut terhadap pedang.”

Adapun Muhammad Al-Imam maka di sana tidak ada perkara yang sifatnya terpaksa yang mendorongnya untuk menandatangani watsiqah tersebut, hal itu sebagaimana yang dia nyatakan secara terang-terangan pada khutbah Ied. Hanya saja kaum itu bersahabat.

Dan saudara kami Shalah Kantusy telah mengabarkan kepada saya bahwa ketika dia pergi ke Mafraq Hubaisy, Syaikh Abdul Aziz Al-Bura’iy berkata kepadanya:

إن الإمام لم يترك لنا سبيلا من أجل أن ندافع عنه.

“Sesungguhnya Al-Imam tidak meninggalkan untuk kita sebuah jalan pun untuk membelanya.” (yakni tidak tersisa alasan apapun untuk bisa membela al-Imam, pen)

Bahkan Abdurrahman Mar’iy telah mengabarkan kepada saya –hal itu disaksikan oleh beberapa orang yang lain– bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz Al-Bura’iy hampir saja menulis bantahan terhadap Al-Imam, kalau saja masayikh yang lain tidak mengatakan kepadanya: “Yang afdhal kita keluarkan penjelasan yang sifatnya umum.”

Mungkin saja ada yang mengatakan bahwa keterpaksaan yang mendorong Muhammad Al-Imam adalah khawatir Ditutupnya markiz Ma’bar.

Saya katakan: Apakah jika markiz Ma’bar ditutup berarti Dakwah Salafiyah akan lenyap?!

Bahkan saya katakan: Kalian tidak tahu barangkali penutupan markiz Ma’bar padanya terdapat kebaikan, hal itu karena para thullab Ma’bar bisa menyebar di seluruh pelosok negeri Yaman untuk mendakwahkan agama Allah, sehingga dakwah pun tersebar dan sulit bagi Rafidhah untuk mengikuti ke mana saja mereka dan menguntit mereka.

Demikian juga dengan Muhammad Al-Imam, sungguh bisa jadi dia lebih memiliki waktu yang luang untuk ilmu.

Perhatikanlah berbagai warisan atau peninggalan dari Asy-Syaikh Al-Albany berupa tulisan maupun audio yang menyebar di belahan bumi barat dan timur serta utara dan selatan! Apakah beliau memiliki markiz?!

Saya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala untuk bisa meraih kebaikan yang kita inginkan, dan penjagaan dari kesalahan dan ketergelinciran padanya. Sesungguhnya Dia mampu dan Maha Kuasa atasnya.

Ditulis oleh: Abul Abbas Yasin bin Ali Al-Adny
Aden – Yaman
Malam Ahad, 29 Shafar 1439 H


WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

Selasa, 01 September 2015

Kedudukan Asy-Syaikh Rabi’ Hafizhahullah Ta’ala Disisi Para Ulama

KEDUDUKAN ASY-SYAIKH RABI’ HAFIZHAHULLAH TA’ALA DI SISI PARA ULAMA

Ditulis oleh; Al-Ustadz Abu Umar Ibrahim Hafizhahullah
Syaikhuna Abul ‘Abbas Yasin al-‘Adeny hafizhahullah Ta’ala berkata ketika menjelaskan sebuah lafadz yang dipakai oleh ahlul kalam,
“Merupakan perkara yang sudah diketahui, bahwa manusia yang paling berilmu tentang berbagai istilah (bid’ah dan sesat) dalam ilmu kalam, filsafat, dan mantiq adalah ahlus sunnah wal jama’ah.
Akan tetapi, siapakah ulama yang paling berilmu tentang istilah-istilah tersebut?
Beliau adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala. Maka, semestinya seorang sunni mengetahui kedudukan tokoh ulama besar ini.
Beliaulah yang meneliti lafadz-lafadz tersebut, mengetahui makna-maknanya, dan menerangkan kepada manusia (tentang kebatilannya), sehingga mereka bisa berjalan (dengan bimbingan ilmu) di atas petunjuk dan al-haq.
Dan dengannya pula mereka bisa mengetahui kebatilan (yang ada padanya), sehingga mereka bisa menjauhinya.
Demikianlah Allah memberikan anugerah kepada kita dengan keberadaan para ulama yang selalu menerangkan al-haq kepada manusia, sehingga mereka bisa berjalan di atasnya, dan menerangkan kebatilan sehingga mereka pun bisa menjauhinya.
Dan kita -alhamdulillah- di masa ini, diberikan kenikmatan dengan keberadaan para ulama yang menerangkan kepada manusia berbagai lafadz-lafadz bid’ah yang  dilontarkan oleh Ikhwanul Muslimin, Hasaniyyun, Ashabul Jam’iyyat, Hajuriyyun, dan seluruh ahli bid’ah.
Dan manusia yang paling berilmu dengan berbagai istilah dan lafadz-lafadz yang dipakai oleh ahlul bid’ah di masa kita ini adalah ASY-SYAIKH RABI’ hafizhahullah Ta’ala.
Beliau adalah manusia yang paling memahami dan mengilmui tentang berbagai lafadz-lafadz dan istilah-istilah yang dipakai oleh ahlul bid’ah.
Dan sebagaimana yang diucapkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah Ta’ala, dan ini adalah faedah yang semestinya ditulis.
ASY-SYAIKH AL-ALBANI BERKATA:  “AKU TELAH MEMBACA KITAB-KITAB ASY-SYAIKH RABI’, DAN AKU TIDAK MENDAPATI SATU KESALAHAN PUN PADANYA.”
Ucapan kami yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam adalah manusia yang paling mengetahui tentang berbagai istilah tersebut, dan berbagai lafadz dalam ilmu kalam, filsafat, dan mantiq, bukan bermakna bahwa tidak ada ulama lain yang mengetahui tentang hal itu. Bahkan, didapati dari kalangan ulama seperti Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, adz-Dzahabi, dan selain mereka dari kalangan ulama yang mengetahui tentang hal itu.
Begitu pula, kalau kita mengatakan bahwa Asy-Syaikh Rabi’ adalah manusia yang paling mengetahui tentang firqah-firqah sesat, bukan bermakna bahwa tidak ada ulama lain yang berbicara tentang ahlul bid’ah. Bahkan -alhamdulillah- bersama kita terdapat banyak ulama yang berbicara tentang mereka, seperti: Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri; demikian pula di negeri Yaman, seperti: Asy-Syaikh al-Wushabi, Asy-Syaikh al-Bura’i, Asy-Syaikh al-Imam, dan selain mereka. Mereka semua berbicara tentang ahlul bid’ah, menyingkap dan membongkar kedok mereka.
Akan tetapi, apabila dikatakan bahwa manusia yang paling berilmu (tentang suatu perkara) adalah ulama Fulan,  bukan bermakna bahwa hal itu menafikan keilmuan/pengetahuan ulama yang lain.
Maka, sungguh kita bergembira dengan nikmat yang agung ini.
Kita memuji Allah atas anugerah nikmat yang sangat besar ini, yakni nikmat berupa keberadaan para ulama yang selalu menerangkan al-haq kepada manusia, memerintahkan mereka dengannya, dan menjauhkan umat dari berbagai kebatilan.”
Wallahu a’lam bish shawab.
Fawaid dari dars Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 1435 H/13 Januari 2014, oleh Syaikhuna Abul ‘Abbas Yasin al-‘Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush.
Semoga Allah Ta’ala selalu menjaganya dari segala makar, dan keburukan.
Menjadi Suami Yang Terbaik (Bagian 1)

Ditulis oleh: Ustadz Abu Umar Ibrahim Hafizhahullah

Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah Ta’ala berkata di dalam kitabnya Manhajus Salikin:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya kepada keluarga (istrinya).” (HR. at-Tirmidzi dan ad-Darimi)
Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala menjelaskan:
Hadits di atas adalah hadits yang hasan.

Padanya terdapat seruan kepada para suami agar berakhlak yang baik kepada istrinya.
Akhlak yang baik merupakan perangai yang seharusnya ada pada diri seseorang.

Akhlak yang baik merupakan bukti atas kesempurnaan iman.
Wahai suami,

istri adalah manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan yang baik darimu.
Wahai suami,

Tidak sepantasnya dirimu bermuka manis, berperilaku santun kepada orang lain, sementara kepada istrimu sendiri, kamu berbuat jelek.
Dengarkan kembali sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya kepada keluarga (istrinya).”
Subhanallah, resapi dengan baik….

Ini adalah peringatan yang agung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para suami,

agar mereka berakhlak yang baik kepada istrinya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Bersambung, insya Allah…
Fawaid dari dars Manhajus Salikin bab: ‘Isyratin Nisa oleh Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush.
Pelajaran Dari Sebuah Kisah

PELAJARAN DARI SEBUAH KISAH
Syaikh kami Abu Muhammad sholah kentusy -hafizahullah wa ro’aah- di salah satu dars ushul alfiqhnya  dalam pembahasan “ijma'”(kesepakatan ulama mujtahidin setelah meninggalnya rosulullah) menyebutkan sebuah kisah -yang mudah mudahan kita bisa mengambil beberapa pelajaran darinya-, kisahnya sebagai berikut:
Asy syaikh alallamah muqbil bin hady -rohimahullah- di salah satu durus ‘aamah di tanya oleh salah seorang hadirin dalam majlis tersebut tentang hukum sebuah permasalahan fiqhiyah, lalu beliau menjawab: hukum permasalahan ini begini dan begini. Dan hadir juga di majlis itu syaikhuna abu abdillah abdurrahman al’adeny -hafizahullah- beliau mengangkat tangan dan dengan penuh adab beliau berkata: ya syaikh.. fulan bin fulan dari kalangan aimmah menukilkan IJMA’ dalam kitab fulany bahwa hukum dari permasalahan yg ditanyakan tadi kebalikan dari yang anda sebutkan…

Maka asy syaikh muqbil disaat itu juga mengatakan : astagfirullah.. arji’… arji’… (saya ruju’.. saya ruju’..).selesai penukilan dari abu muhammad sholah kentusy.
Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah diatas diantaranya:
1. Ijma’ adalah hujjah dan termasuk salahsatu dari dalil dalil syar’iyyah. Diantara dalil yang menunjukkan bahwa ijma adalah hujjah adalah hadits
((لا تجتمع أمتي على ضلالة))

“Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan”
Kalau mustahil umat ini (yaitu ulamanya) menyepakati kesesatan, maka menunjukkan apa yang mereka sepakati adalah haq dan hujjah.
2. BERSEGERA UNTUK KEMBALI KEPADA ALHAQ KETIKA MENGETAHUINYA DAN MENERIMANYA DAN TIDAK MEMANDANG DARI MANA DATANGNYA ALHAQ TERSEBUT.
apakah itu datangnya dari gurunya atau muridnya,dari temannya atau rivalnya, bahkan dari syaithon, alhaq lebih berhak untuk diikuti. Tapi perlu dibedakan antara MENERIMA alhaq dengan MENGAMBIL/MENCARI alhaq,klo terbukti itu adalah alhaq maka wajib kita menerimanya dari siapapun datangnya, tapi kalau dalam bab mengambil/mencari alhaq maka tidak boleh kita mencari/mempelajari alhaq kecuali dari ahlinya yang terpercaya yaitu alhul ilmi dari ahlussunnah tidak boleh mencari alhaq dari ahlul bida’ wadh dholal.
3.pembinaan dan bimbingan ulama terhadap murid muridnya secara khusus dan kepada kaum muslimin keumumannya untuk tidak taklid(fanatik) buta dan taashshub terhadap dirinya dan tidak segan untuk menegur apabila didapati kesalahan tentunya dengan tetap menjaga adab dan rasa hormat terhadap mereka.
4. BUKAN SUATU AIB SESEORANG MENGAKUI KESALAHAN DAN KEMBALI KEPADA KEBENARAN BAHKAN MERUPAKAN BENTUK RIF’AH DAN KEMULIAAN JIKA DILAKUKAN DENGAN JUJUR DAN PENUH KEIKHLASAN
Semoga kita dapat mengambil ibroh dari kisah yang singkat ini
Akhukum fillah : afif abul aliyah alatsary
Jalan Siapakah Yang Kita Tempuh?

JALAN SIAPAKAH YANG KITA TEMPUH?

Sebuah Renungan Dari Fatwa Ulama Kibar Terkait Dengan Tahdzir Syaikh Rabi’ Terhadap Dzulqarnain Al-Makassari

Bismillah,
Alhamdulilah, wash shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah,

Amma ba’du:

Sebelumnya, dengan terpaksa, diri Ana yang masih sangat jahil ini mencoba memberanikan diri untuk memberikan sumbangsih kapada saudara2ku yang cinta kepada dakwah dan ulamanya.

Ana awali dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keberkahan itu diperoleh dengan berjalan bersama para ulama kibar.”

Ikhwati fillah,

Di forum ini ana ingin menuliskan beberapa kalimat utk diri ana pribadi dan semoga bermanfaat untuk antum semua.

Ana menyerukan kepada kita semua utk bertakwa kepada Allah, selalu berjuang untuk ikhlas, dan jujur dalam beragama, dan jauhilah sifat ta’asshub.

Ikhwani fiddin rahimakumullah,

Terkait dengan fatwa syaikh Rabi hafizhahullah Ta’ala tentang tahdzir terhadap Dzulqarnain, janganlah benih2 ta’asshub dan ‘ashabiyah  menyelimuti akal kita, sehingga kita ragu atau bahkan menolak fatwa tersebut.

Ikhwah fillah,

Apabila ada berita yg terkait dengan keamanan, rasa takut, dll, bukankah Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ” Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyebarkannya. Dan kalau mereka MENYERAHKANNYA KEPADA RASUL DAN ULIL AMRI di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (RASUL DAN ULIL AMRI).” [an-Nisa: 83]

Ikhwatil kiram,

Kalau memang kita jujur dalam beragama dan bermanhaj, mari kita amalkan bimbingan Allah dalam ayat di atas.

Janganlah antum bersikap dan berbuat kecuali dengan bimbingan ulama.

Dan bimbingan ulama telah datang.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu.” [an-Nisa: 59]

Ikhawani fiddin,

Ana khawatir, apabila kita menyelisihi perintah Allah walaupun cuma satu saja, hal itu akan membawa kita kepada fitnah.

Sehingga yang namanya fitnah itu, ada pada orang2 yang tidak mau mengikuti bimbingan ulama.

Merekalah ahli fitan sesungguhnya.

Renungilah firman Allah Ta’ala berikut ini (yang artinya), “Hendaklah berhati-hati/takut orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul, mereka akan ditimpa dengan fitnah, atau ditimpa dengan azab yang pedih.” [an-Nur: 63]

Ya ikhwah rahimakumullah..

Bukankah dulu ketika fitnah itu datang, sebagian kita (karena minimnya ilmu dan informasi yang benar) terus berada di atas kebingungan, siapakah yang benar dari kedua pihak YANG BERSELISIH tersebut.

Kepada siapa kita menilai kebenaran yang ada pada mereka?

Dengan apa kita menilainya?

Sedang masing2 mereka, mengklaim bahwa merekalah yang benar.

Ya ikhwah,

Bukankah ketika kita berani menilai dengan modal ilmu yang pas-pasan (sangat minim), akhirnya kita pun terus terjatuh ke dalam perselisihan!?

Sehingga, walaupun jasad kita bersatu, tp hati kita berselisih dan bercerai berai?

Terasa tidak enak, bukan?

Ya Ikhwah…

Tdk ada yang bisa menyelamatkan kita dari fitnah ini kecuali kembali kepada bimbingan Allah dan Rasul-Nya, serta kembali kepada bimbingan para ulama, terkhusus ulama kibar yang berkompeten di bidangnya, dalam hal ini adalah syaikh Rabi hafizhahullah Ta’ala.

Beliau adalah ulama kibar, baik dari segi umur atau ilmu.

Hal itu tdk kita ragukan lagi, bukan?

Apalagi kalau kita melihat pujian para ulama kibar, seperti syaikh Albani dan syaikh bin Baz rahimahumallah Ta’ala.

Ya ikhwah, apa yang kita tunggu?

Bukankah dari dahulu kita selalu menunggu fatwa para ulama, terkhusus syaikh Rabi, yang mana beliau adalah ulama yang paling tahu tentang kondisi INDONESIA. Kurang lebih dua puluh tahun lamanya beliau selalu mengikuti perkembangan dakwah di Indonesia.

Jujur saja antum, 20 tahun yang lalu antum di mana????

Di mana ya Akhi?

Coba antum bercermin dan muhasabah.

Sekarang…

sudah muncul fatwa itu….

Kenapa sebagian kita masih ragu?

Apakah antum merasa lebih sayang terhadap dakwah ini daripada syaikh Rabi?

Mana yang lebih sayang terhadap keselamatan dakwah, umat, dan Dzulqarnain itu sendiri?

Ketahuilah, ana memandang bahwa beliaulah yang paling sayang terhadap dakwah, umat, dan Dzulqarnain?

Kenapa?

Bukankah antum tahu, bahwa salah satu bentuk kasih sayang terhadap dakwah, umat, dan pribadi yang bersalah adalah dengan tahdzir terhadapnya?

Dengan tahdzir itulah kemaslahatan untuk dakwah, umat, dan person tercapai?

Bagi dakwah dan umat jelas..

Lalu, bagaimana dengan person yang bersalah kemudian ditahdzir, di mana letak kasih sayangnya?

Letaknya adalah dengan person tersebut ditahdzir maka akan memperkecil daerah fitnah, mempersedikit jumlah yang mengikutinya, sehingga dengan itu akan mengurangi dosa2nya, dan yang paling diharapkan adalah hal itu akan mengembalikan dia kepada al-haq dan bimbingan ulama (tentunya bagi yang dirahmati Allah Ta’ala).

Contoh dalam hal ini adalah perintah Rasulullah untuk menghajr tiga sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk.

Padahal antum tahu, siapa yang lebih sayang terhadap umat, dan 3 sahabat tersebut?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan?

Tapi beliau dengan kasih sayangnya memerintahkan para sahabat untuk menghajr Ka’ab bin Malik dan 2 sahabat lainnya.

Antum baca kembali bagaimana tentang kisah mereka yang dipenuhi dengan kejujuran, tanpa ada PENENTANGAN dan PENYELISIHAN  terhadap keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengharap ridha Allah Ta’ala.

Ka’ab bin Malik,

dengan kejujurannya beliau berterus terang tentang ketidakhadirannya di perang Tabuk.

Walaupun beliau bisa saja beralasan dan mencari-cari alasan yang dengan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memaafkannya, padahal beliau sangat pandai untuk bisa melakukannya, tapi beliau tidak melakukannya.

Kenapa beliau tidak melakukannya, dan memilih jujur, serta bersabar dalam masa pemboikotan, sehingga bumi terasa sempit, dan masa terasa lama dan panjang?

Kenapa?

Karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala.

Dan Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang jujur.

Tapi dengan kejujuran mereka, mereka jalani semuanya dengan tobat, penyesalan, dan doa kepada Allah Ta’ala.

Sampai kemudian, Allah mengampuni mereka semua.

Ya Akhil karim,

apakah beratnya bagi antum untuk menerimanya?

Dan apakah beratnya bagi Dzulqarnain untuk menerimanya.

Itupun kalau dia mau jujur, ikhlas, dan menyadari akan kekurangannya.

Para sahabat dan salafuna ash-shalih sebagai teladan kita.

Tidak ada dari mereka yang ma’shum. Tp yang bisa kita ambil adalah keteladanan mereka dalam hal cepatnya mereka rujuk kepada al-haq ketika ada kesalahan, dan ada yang menasihati mereka.

Bukan malah membela diri, apalagi di hadapan ulama kibar seperti syaikh Rabi’ yang paling tahu, dan paling sayang terhadap umat, dan kita semua.

Tapi, kalau di hati ada kesombongan maka siapa yang akan bisa memberi nasihat kepadanya?

Sombong adalah menolak al-haq dan meremehkan manusia.

Ya Akhi,

janganlah antum menganggap bahwa fatwa tersebut terlalu terburu2 dan tidak ilmiah, kemudian engkau menyibukkan diri dengan mencari2 bukti, data, dan kesalahan2 dari kedua belah pihak, untuk engkau timbang mana yang benar?

Allahul Musta’an, siapa dirimu?

Selain engkau bukan ahlinya, engkau juga akan tersibukkan dengan hal itu?

Kenapa engkau tidak mencukupkan diri dengan fatwa tersebut?

Kenapa engkau tidak mengembalikan urusan yang besar ini kepada ulama?

Coba bandingkan sikap antum, dengan sikap para ulama yang lain.

Antum bisa melihat bagaimana syaikh Muhammad al-Wushabi, syaikh Muhammad al-Imam, dan syaikh Abdurrahman al-‘Adeny, mereka semua sepakat bahwa ketika sudah muncul fatwa tersebut, ikuti para ulama.

Tinggal ANTUM, ke mana akan melangkah…

Jalan siapa yang antum ikuti?

Apakah antum akan mengikuti Dzulqarnain dan husnuzhan kepadanya,

sementara antum tinggalkan fatwa ulama, jalan para ulama, dan suuzhan kepada mereka.

Silakan antum memilih…

Semoga Allah Ta’ala selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus, menguatkan kita untuk selalu istiqamah di atas jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada,

dan shalihin, sehingga kita berharap bisa dikumpulkan oleh Allah bersama mereka di dalam jannah-Nya.
Amin ya Mujiibas Sailin.


Dari akhukum fillah,
Al-Faqir ila Rabbihi Ta’ala, Abu umar ibrahim.
Markiz Daril Hadits al-Fiyush.
Haramnya Gambar Serta Bantahan Terhadap Mereka yang Membolehkannya ( Bag.04 )



PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG HARAMNYA GAMBAR SERTA BANTAHAN TERHADAP MEREKA YANG MEMBOLEHKANNYA
 
Asy-Syaikh al-‘allamah Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata:
Dan pendapat yang membolehkan gambar untuk pengajaran adalah pendapat yang tidak berdalil, bahkan hadits bahwa tukang gambar itu dilaknat mencakup perkara ini dan itu. Dan dalam pembolehan gambar untuk pengajaran terdapat bentuk bentuk pengentengan akan maksiat  menggambar ini di hati para siswa. Di sisi lain, mereka tengah mempersiapkan dirinya terhadap laknat Allah bila mereka belum baligh dan dilaknat bila mereka sudah baligh. Mereka melakukan kemaksiatan bahkan mendorong untuk melakukannya. Maka di manakah tanggungjawab itu?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam telah bersabda:
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan masing-masingnya akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang telah ia pimpin.”
Beliau juga bersabda: “Tidaklah setiap pemimpin itu diserahi kepemimpinan oleh Allah kemudian ia tidak menempatkannya sesuai dengan bimbingan-Nya kecuali pasti dia tidak akan mendapatkan aroma wangi jannah.”
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi was salam sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dengan pendidikan yang agamis. Nabi shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
“Setiap anak itu terlahir di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Dan beliau bersabda pada sebuah hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-Ku dalam keadaan lurus bersih,  kemudian syaithan memalingkan mereka.”
Maka haram bagi seorang guru dan pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk membolehkan para siswa menggambar.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam syarah Shahih Muslim (juz 14 hal 81) mengatakan: “Teman-teman kami (asy-syafi’iyyah) dan selain mereka dari para ‘ulama mengatakan:
“Menggambar gambar-gambar hewan (makhluk bernyawa) adalah sangat diharamkan dan termasuk dari dosa-dosa besar, karena pelakunya diancam dengan ancaman yang sangat keras sebagaimana tersebut di dalam hadits-hadits….” selesai penukilan dari beliau.
[Kitab: Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah hal. 29-32]
* Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ/ ﻣﻘﺒﻞ ﺑﻦ ﻫﺎﺩﻱ ﺍﻟﻮﺍﺩﻋﻲ – ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
 ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺈﺑﺎﺣﺔ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﻟﻠﺘﻌﻠﻴﻢ ﻻ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻴﻪ، ﺑﻞ ﺣﺪﻳﺚ ﻟﻌﻦ ﺍﻟﻤﺼﻮﺭ ﺍﻟﻤﺘﻘﺪﻡ ﻳﺸﻤﻞ ﻫﺬﺍ ﻭﻫﺬﺍ. ﻭﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺗﻬﻮﻳﻦ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ ﻓﻲ ﻧﻔﻮﺱ ﺍﻟﻄﻼﺏ، ﻭﻫﻢ ﻳﻬﻴﺌﻮﻥ ﻟﻠﻌﻨﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻏﻴﺮ ﺑﺎﻟﻐﻴﻦ،ﻭﻳﻠﻌﻨﻮﻥ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺑﺎﻟﻐﻴﻦ ، ﻭﻳﻌﺎﻧﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻌﺼﻴﺔ، ﺑﻞ ﻳﺪﻓﻌﻮﻥ ﺇﻟﻴﻬﺎ ، ﻓﺄﻳﻦ ﺍﻟﻤﺴﺌﻮﻟﻴﺔ ،
ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﷺ  ﻳﻘﻮﻝ : ” ﻛﻠﻜﻢ ﺭﺍﻉ ﻭﻛﻠﻜﻢ ﻣﺴﺌﻮﻝ ﻋﻦ ﺭﻋﻴﺘﻪ “، ﻭﻳﻘﻮﻝ “: ﻣﺎ ﻣﻦ ﺭﺍﻉ  ﻳﺴﺘﺮﻋﻴﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﻋﻴﺔ ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﺤﻄﻬﺎ ﺑﻨﺼﺤﻪ ﺇﻻ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﺭﺍﺋﺤﺔ ﺍﻟﺠﻨﺔ ” .  ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﷺ ﻳﻬﺘﻢ ﺑﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﻷﻃﻔﺎﻝ ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺩﻳﻨﻴﺔ ،ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﷺ:  ” ﻛﻞ ﻣﻮﻟﻮﺩ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺄﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﺃﻭ ﻳﻨﺼﺮﺍﻧﻪ ﺃﻭ
ﻳﻤﺠﺴﺎﻧﻪ “،ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺮﻭﻳﻪ ﻋﻦ ﺭﺑﻪ: ‏( ﺇﻧﻲ ﺧﻠﻘﺖ ﻋﺒﺎﺩﻱ ﺣﻨﻔﺎﺀ ﻓﺎﺟﺘﺎﻟﺘﻬﻢ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ‏) . ﻓﺤﺮﺍﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺪﺭﺱ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻭﻟﻴﺎﺀ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺃﻥ ﻳﻤﻜﻨﻮﺍ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺼﻮﻳﺮ.
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪﻓﻲ ﺷﺮﺡ” ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ” (ﺝ 14ﺹ 81‏) : ﻗﺎﻝ  ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ : ﺗﺼﻮﻳﺮ ﺻﻮﺭ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﺣﺮﺍﻡ ﺷﺪﻳﺪ  ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ؛ ﻷﻧﻪ ﻣﺘﻮﻋﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻮﻋﻴﺪ ﺍﻟﺸﺪﻳﺪ
ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ. . .  ﺍﻫـ. ‏
ﻛﺘﺎﺏ : ﺣﻜﻢ ﺗﺼﻮﻳﺮ ﺫﻭﺍﺕ ﺍﻷﺭﻭﺍﺡ  (ﺹ 32-29
Syirik Kaum Syi’ah

SYIRIK KAUM SYI’AH

Ditulis Oleh: Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah adalah inti ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Setiap nabi yang diutus Allah Subhanahu wata’ala mendapat perintah dari Allah Subhanahu wata’ala agar menyerukan dakwah tauhid kepada umatnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu.” (an- Nahl: 36)

Firman-Nya,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Rabb (yang berhak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (al-Anbiya: 25)

Tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana firman-Nya,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya Rabbmu itu adalah Rabb Yang Esa.’ Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110)

Tauhid adalah fondasi keselamatan hidup. Tidak akan selamat seorang yang menyekutukan Allah ‘azza wa jalla dalam beribadah kepada-Nya. Seorang hamba yang mati dalam keadaan tidak bertobat dari perbuatan syirik yang dilakukannya, ia tidak akan mendapat ampunan. Allah Subhanahu wata’alaberfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa’: 48)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 116)

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.” (al-Maidah: 72)

Namun, berbeda halnya dengan agama Syiah. Ayat-ayat yang menjelaskan perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan tidak menyekutukan dalam beribadah kepada-Nya, mereka palingkan maknanya dan membawanya kepada makna ke-imamah-an. Menurut mereka, meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai penerus kepemimpinan setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah prinsip utama yang harus diyakini. Sebagai contoh, firman Alah Subhanahu wata’ala,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)

Disebutkan dalam kitab paling sahih menurut kalangan Syiah, al-Kafi, dan kitab mereka lainnya, menjelaskan tafsir dari ayat ini sebagai berikut. “Jika engkau menyekutukan selainnya (selain Ali, -pen.) dalam kepemimpinan”, pada lafadz yang lain, ”Jika engkau memerintahkan kepemimpinan seseorang bersama kepemimpinan Ali setelahmu, niscaya terhapus amalanmu.” (Ushul al-Kafi, 427/1, Tafsir al-Qummi, 251/2)

Penulis kitab al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an juga menyebutkan empat riwayat yang menafsirkan ayat tersebut dengan yang semakna dengan tafsir ini. (al-Burhan, 4/83; Ushul Madzhab Syiah, 427)

Contoh lain, firman Allah Subhanahu wata’ala,

أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (an-Naml: 61)

Ayat ini sangat jelas menunjukkan pengingkaran Allah Subhanahu wata’ala terhadap kaum musyrikin yang berbuat syirik dalam beribadah kepada-Nya. Namun, disebutkan dalam tafsir ayat ini, dari Abu Abdillah berkata, “Yang dimaksud adalah Imam hidayah dan imam sesat pada satu masa.” (Biharul Anwar, 23/391; Ushul Madzhab Syiah, 431)

Masih banyak lagi model penafsiran kaum Syiah yang seperti ini. Jadi, adalah hal yang wajar jika agama Syiah tidak bisa membedakan antara tauhid dan syirik, antara amalan yang saleh dan amalan yang batil karena metode penafsiran kaum Syiah yang sangat menyimpang dari kebenaran.

Para Imam sebagai Perantara Seorang Hamba dengan Rabbnya

Dalam agama Islam, ibadah dilakukan langsung kepada Allah Subhanahu wata’ala tanpa melalui perantara. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah- Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)

Barang siapa menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dia dan Allah k, dia memohon dan meminta kepada mereka, sungguh dia telah kafir berdasarkan kesepakatan para ulama. Hal itu seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana yang disebut dalam firman-Nya,

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekatdekatnya.” (az-Zumar: 3)

Berbeda halnya dengan agama Syiah, berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala melalui perantara para imam adalah sebuah kewajiban. Mereka berkata tentang imam-imam mereka, “Barang siapa berdoa kepada Allah melalui kami maka dia beruntung, dan siapa yang berdoa tanpa melalui kami maka dia binasa.” (Biharul Anwar, 23/103, Wasail asy-Syiah, 4/1142)

Bahkan , mereka berkata , “Sesungguhnya doa para nabi itu terkabulkan dengan cara bertawassul dan meminta syafaat mereka (para imam,m -pen.).” (Ini adalah judul salah satu bab dalam kitab Biharul Anwar, 26/319)

Mereka juga menyebutkan bahwa tatkala Allah ‘azza wa jalla menempatkan Nabi Adam ‘Alaihissalam di dalam surga, ditampakkan di hadapannya permisalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali, Hasan, dan Husain, maka Adam melihat mereka dengan pandangan hasad. Lalu diperlihatkan kepadanya wilayah (kepemimpinan para imam Syiah, -pen.) dan Adam ‘Alaihissalam mengingkarinya sehingga ia pun dilempar dari surga dengan dedaunannya. Tatkala ia telah bertobat kepada Allah Subhanahu wata’aladari penyakit hasadnya dan mengakui wilayah para imam, serta berdoa dengan bertawassul dengan kedudukan lima hamba: Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain, maka Allah Subhanahu wata’ala pun mengampuninya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya,

فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 37)

Beristighatsah Kepada Para Imam

Agama Syiah menjelaskan tentang keutamaan dan tugas setiap imam mereka, “Adapun Ali bin al-Husain, itu untuk keselamatan dari para penguasa dan bisikan setan. Adapun Muhammad bin Ali dan Ja’far bin Muhammad, itu untuk akhirat dan apa yang dicari berupa ketaatan kepada Allah k. Adapun Musa bin Ja’far, mintalah darinya kesehatan dari Allah Subhanahu wata’ala. Adapun Ali bin Musa mintalah darinya keselamatan, baik di darat maupun di lautan. Adapun Muhammad bin Ali, mintalah rezeki dari Allah Subhanahu wata’ala melalui dia. Adapun Ali bin Muhammad, untuk amalan-amalan sunnah, berbuat baik kepada sesama saudara dan apa yang dituntut berupa ketaatan kepada AllahSubhanahu wata’ala. Adapun Hasan bin Ali, itu untuk akhirat. Adapun pemilik zaman (Imam Mahdi, -pen.), jika pedang telah sampai ke sembelihannya maka mintalah tolong kepadanya, ia akan segera menolongmu.” (Biharul Anwar, 33/94)

Padahal Islam mengajarkan kita untuk meminta pertolongan untuk meraih sebuah manfaat atau menolak kemudaratan hanyalah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’alaberfirman,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Yang menguasai hari pembalasan.” (al-Fatihah: 4)

Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. at-Tirmidzi no. 2516, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Ziarah Kubur Para Imam dan Keutamaannya Menurut Syiah Benar apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Orang-orang yang tepercaya telah memberitakan kepadaku, di antara kaum Syiah ada yang berpandangan bahwa berhaji ke kuburan yang dimuliakan itu lebih utama daripada berhaji ke Baitul ‘Atiq (Ka’bah). Mereka memandang bahwa menyekutukan Allah ‘azza wa jalla lebih mulia daripada beribadah hanya kepada Allah ‘azza wa jalla semata. Ini adalah perkara terbesar dalam beriman kepada thagut.” (Minhajus Sunnah, 2/124)

Benar apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Hal ini dibuktikan oleh riwayat-riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab kaum Syiah yang berlebihlebihan dalam hal memuliakan kuburan. Disebutkan dalam kitab al-Kafi bahwa berziarah ke kuburan Husain menyamai haji dua puluh kali dan lebih utama dari dua puluh kali haji dan umrah.” (Furu’ al-Kafi, 1/324)

Tatkala salah seorang Syiah berkata kepada imamnya, “Sesungguhnya aku telah berhaji sembilan belas kali dan umrah sembilan belas kali.” Imamnya menjawab seakan-akan mengejek, “Berhajilah sekali lagi dan umrahlah sekali lagi, dan itu semua akan dicatat bagimu sama dengan berziarah ke kuburan al- Husain.” (Wasail asy-Syiah, 10/348, Biharul Anwar, 38/101, Ushul Madzhab asy-Syiah, 454)

Bahkan, mereka juga meriwayatkan, “Barang siapa mendatangi kuburan Husain dalam keadaan dia mengetahui haknya, maka keutamaannya seperti orang yang berhaji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seratus kali.” (Tsawabul A’mal, 52, Wasail asy-Syiah, 10/350. Ushul Madzhabi Syiah, 455)

Lebih dari itu, mereka menganggap bahwa berziarah ke kuburan Husain pada hari Arafah lebih utama daripada amalan haji berlipat-lipat kali. Mereka meriwayatkan, “Barang siapa mendatanginya (kuburan Husain, -pen.) pada hari Arafah dalam keadaan dia mengetahui haknya, maka Allah Subhanahu wata’ala mencatat baginya seribu kali haji, seribu kali umrah mabrur yang diterima, dan seribu kali berperang bersama nabi yang diutus atau imam yang adil.” (Furu’ al-Kafi, al-Kulaini, 1/324, Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu Babawaih al- Qummi, 1/182)

Mereka juga meriwayatkan dari Ja’far ash-Shadiq bahwa ia berkata, “Seandainya aku beritakan kepada kalian keutamaan ziarah ke kuburannya dan keutamaan kuburannya, niscaya kalian meninggalkan amalan haji. Tidak seorang pun dari kalian yang akan menunaikan haji. Celaka engkau, tidakkah engkau tahu bahwa Allah ‘azza wa jalla telah menjadikan tanah Karbala sebagai tanah haram yang aman dan penuh berkah sebelum Makkah dijadikan sebagai tanah haram?!” (Biharul Anwar, 33/101)

Shalat di Kuburan

Bahkan, tingkat kesyirikan yang mereka lakukan hingga menyebutkan keutamaan shalat di sisi kuburan imam mereka. Di antara riwayat yang mereka sebutkan, “Shalat di tanah haram kuburan Husain bagimu, pada setiap rakaat yang kamu lakukan mendapatkan pahala di sisi-Nya seperti pahala seribu kali haji, seribu kali umrah, membebaskan seribu budak, dan seakan-akan dia berwakaf di jalan Allah Subhanahu wata’ala sejuta kali bersama nabi yang diutus.” (al-Wafi, 8/234; Ushul Madzhab Syiah, hlm. 469)

Bagaimana mungkin Islam membenarkan hal ini padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya shalat di pekuburan dan shalat menghadapnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا

“Jangan kalian shalat menghadap kuburan dan jangan kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim no. 972, dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

“Permukaan bumi seluruhnya adalah tempat shalat kecuali pekuburan dan kamar mandi.” (HR. at-Tirmidzi no. 317, Ibnu Majah no. 745, dan yang lainnya, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu) Wallahul muwaffiq.

Haramnya Gambar Serta Bantahan Terhadap Mereka yang Membolehkannya ( Bag.03 )

PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG HARAMNYA GAMBAR SERTA BANTAHAN TERHADAP MEREKA YANG MEMBOLEHKANNYA
 
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’ no. 6531
Pertanyaan: 
Apa hukum Islam tentang gambar pola (sketsa) di papan tulis dalam praktek pendidikan. Dan sebagai catatan bahwa sketsa tersebut merupakan penggambaran dari bentuk-bentuk hewan, tumbuhan, dan serangga dalam materi pelajaran at-Tarikh ath-Thabi’i (al-Ahya’).
Gambar-gambar ini penting dalam praktek pengajaran, selain itu tidak dalam bentuk tiga dimensi. Dan perlu diketahui akan pentingnya ilmu ini di dalam bidang kedokteran dan pertanian.
Jawaban:
Selama gambar-gambar itu adalah gambar makhluk bernyawa seperti serangga dan semua yang hidup, maka tidak boleh menggambarnya meskipun hanya gambar di papan tulis maupun di atas kertas saja dan meskipun tujuannya untuk membantu pengajaran, karena tidak adanya kebutuhan darurat terhadap perkara tersebut. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada tentang permasalahan ini. Adapun sesuatu yang tidak memiliki ruh, maka boleh menggambarnya baik untuk pengajaran maupun keperluan lainnya.
Hanya milik Allah jualah taufik itu. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz
Wakil ketua: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghadayyan
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud
* Alih bahasa : Syabab Forum Salafy

(ﻓﺘﻮﻯ ﺍﻟﻠﺠﻨﺔ ﺍﻟﺪﺍﺋﻤﺔ ﻟﻠﺒﺤﻮﺙ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﻭﺍﻹِﻓﺘﺎﺀ ﺭﻗﻢ ‏( 6531‏) :
ﺳﺆﺍﻝ:  ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺍﻹِﺳﻼﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺳﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﺒﻮﺭﺓ ﺭﺳﻮﻣًﺎ ﺗﺨﻄﻴﻄﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻣﻊ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺮﺳﻢ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺃﺷﻜﺎﻝ ﺣﻴﻮﺍﻧﺎﺕ ﻭﻧﺒﺎﺗﺎﺕ ﻭﺣﺸﺮﺍﺕ ﻓﻲ ﻣﺎﺩﺓ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﻄﺒﻴﻌﻲ ‏(ﺍﻷﺣﻴﺎﺀ ‏)، ﻭﻗﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﻮﻣﺎﺕ ﻣﻬﻤﺔ ﻓﻲ ﻋﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻭﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﻮﻣﺎﺕ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﺴﻤﺔ ﻣﻊ
ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺃﻫﻤﻴﺔ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺐ ﻭﺍﻟﺰﺭﺍﻋﺔ
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ:  ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺻﻮﺭًﺍ ﻟﺬﻭﺍﺕ ﺍﻷﺭﻭﺍﺡ ﻛﺎﻟﺤﺸﺮﺍﺕ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺍﻷﺣﻴﺎﺀ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻤًﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﺒﻮﺭﺓ ﻭﺍﻷﻭﺭﺍﻕ، ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﻤﺴﺎﻋﺪﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻌﻠﻴﻢ ﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺇﻟﻴﻪ؛ ﻟﻌﻤﻮﻡ ﺍﻷﺩﻟﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ، ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻦ ﺫﻭﺍﺕ ﺍﻷﺭﻭﺍﺡ ﺟﺎﺯ ﺭﺳﻤﻪ ﻟﻠﺘﻌﻠﻴﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ
ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ. ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ، ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﺍﻟﻠﺠﻨﺔ ﺍﻟﺪﺍﺋﻤﺔ ﻟﻠﺒﺤﻮﺙ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﻭﺍﻹِﻓﺘﺎﺀ
ﺍﻟﺮﺋﻴﺲ: ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺑﺎﺯ.
ﻧﺎﺋﺐ ﺭﺋﻴﺲ ﺍﻟﻠﺠﻨﺔ: ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻋﻔﻴﻔﻲ .
ﻋﻀﻮ : ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻏﺪﻳﺎﻥ .
ﻋﻀﻮ : ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻗﻌﻮﺩ
Tanggapan Asatidzah atas Penjelasan Dzulqarnain terkait Fatwa Tahdzir Syaikh Rabi’ Hafizhahullah

1.Soal di tujukan Kepada Ustadz Muhammad As Seweed Hafizhahulloh.

“Bismillah Kayf Haaluka yaa Ustadzy? Kayf Nasehat Antum Tentang Bayan Dzulqarnain terkait Fatwa Syaikh Rabi’? Jazaakallah Khaira
Jawaban Ustadz Muhammad As Seweed Hafizhahullah.
” Dia berlindung dari panasnya matahari dengan api. Karena dalam ucapannya dia mendzalimi tiga pihak sekaligus:syaikh Rabie’ , syaikh Hani ,dan para asatidzah.
Ana lihat perkara ini sudah final.Dua belah pihak sudah lama berseteru dan masing masing sudah menyampaikan dalil2, bukti2 dan argumen2nya. Apakah melalui syaikh Abdullah al Bukhari atau syaikh Abdullah Mar’i atau syaikh Badr dan syaikh Hani dll yang semuanya akan sampai beritanya ke syaikh Rabie’. Bahkan pernah kedua belah pihak langsung ke syaikh Rabie’.
Apakah dia mengira syaikh Rabie belum bisa membaca sosok jenis dia: “Dzulqarnain, Ja’far Shalih dll??!!”
Adapun berlepas dirinya dari Ali Hasan, radio Roja atau orang2 Roja secara tertulis di internet, namun dia membolehkan orang awam –katanya–untuk mendengarkan radio rodja di beberapa majlisnya.Bahkan mencari pembolehan mendengar radio tsb sampai ke negri yaman. Itu hanya manambah bukti ucapan syaikh Rabie’ bahwa dia mutalawwin.
Wallahu a’lam. Wa nasalullahal hidayah lil jamie’

2.Soal kepada Ustadz Qomar suady Hafizhahullah

Bismillah. Kaifa haaluk yaa ustdzy? Kaif ustdz nasihat antum setelah keluarnya bayan dari dzulqarnaen terkait fatwa syaikh rabee tersebut? Barakallahu fiik.
Jawaban Ustadz Qomar Suady Hafizhahulloh:
Pembelaan diri dan tidak paham dengan teliti kalam Syaikh Robi’. Syaikh tidak mengatakan halaby tapi seperti halaby dalam makar

3.Soal kepada Ustadz Muslim Hafizhahullah

Bismillah. Kaifa haaluk yaa ustdzy? Kaif ustdaz nasihat antum setelah keluarnya bayan dari dzulqarnaen terkait fatwa syaikh rabee tersebut? Barakallahu fiik.
Jawaban ust.muslim hafidzahullah
Dzaka min talaubihi wa kadzibatihi, wafikum.
Azidu, wa ya dullu ‘ala suu’i fahmihi wa makrihi, nas alullahassalamah wal ‘afiyah
(artinya) itu menunjukkan perbuatan dzulqarnaen yang sering mempermainkan agama ini dan kedustaannya.
Aku tambahkan lagi:” dan juga menunjukkan atas jeleknya pemahaman dia(dzulqarnaen) dan makarnya.
نسال الله السلامة و العافية

4.Soal di tujukan ke Ustadz Asykari Hafizhahullah

Bismillah.kaifa haaluk yaa ustdzy? Kaif ustadz nasihat antum setelah keluarnya bayan dari dzulqarnaen terkait fatwa syaikh rabee tersebut? Barakallahu fiik.
Jawaban Ustadz Asykari
Dalam surat ustadz Dzulqarnain ada beberapa hal yang perlu di tanggapi:
1. Seakan-akan ada yang mengabari syaikh Rabi Hafizhahullah tentang dzulqarnain bahwa dia berjalan diatas metode Al-Halabi, padahal pernyataan bahwa dzulqarnain berjalan di atas metode Al-Halabi dalam membuat makar adalah kesimpulan Syaikh Rabi sendiri.Dan yang perlu ditekankan disini, bahwa Beliau menghukumi bahwa dzul berjalan di atas metode Al-Halabi dalam membuat makar, bukan maksudnya dzul pengikut Al-Halabi. Hendaknya dibedakan dua ungkapan ini. Maka pernyataan berlepas dirinya dzul dari Al-Halabi tidak ada kaitannya dengan tuduhan yang disematkan kepadanya.
2. Sungguh sangat disayangkan Dzulqarnain yang melempar tuduhan balik kepada saudara-saudaranya dengan tuduhan berdusta kepada syaikh Rabi Hafizhahullah. ini adalah ucapan kosong yang memerlukan bukti. Siapa yang dia maksud? Lalu berita bohong yang mana? Atau Syaikh Hani juga termasuk yang tertuduh?
Begitulah cara dzulqarnain dalam menjatuhkan seterunya, selalu dengan bahasa kabur yang tidak transparan.Wallahul musta’an
3. Dengan surat ini juga mengandung makna seakan2 syaikh Rabi terlalu bermudah2an dalam menghukumi seseorang, sehingga Beliau menghukumi dzulqarnain tanpa tatsabbut, dan dibangun di atas berita palsu. Sementara yang kita ketahui, Syaikh Rabi dalam menetapkan hukum terhadap seseorang, selalu beliau lakukan dengan proses dan ta’anni, seperti itulah yg beliau lakukan terhadap Abdurrahman Abdul khaliq, Ali Hasan, Abul Hasan, yahya Hajuri, dan yang lainnya. Bertahun2 lamanya beliau menasehati, sebelum kemudian memvonisnya.
Untuk sementara ini dulu tanggapan ana. Barakallahu fiik

5.Soal di tujukan kepada Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary Hafizhahulloh.

Apa Nasehat Antum setelah keluarnya bayan dari Dzulqarnain terkait Fatwa Syaikh Rabee tersebut?
Jawaban Ustadz Abu Hamzah Hafizhahullah
“Apa yang ditulis dzulqarnain saya melihatnya hanya mencari simpatik dan coba melemparkan tuduhan balik. dan itulah salah satu contoh kalau dia seperti halaby dalam makar dan tentu hal ini tidak akan samar bagi siapa yang mengetahuinya

6.Soal di tanyakan kepada Ustadz Idral Harits Hafizhahulloh

Bismillah. Kaifa haaluk yaa ustdzy? Kaif ustdz nasihat antum setelah keluarnya bayan dari dzulqarnaen terkait fatwa syaikh rabee tersebut? Barakallahu fiik.
Jawaban:
Tapi, ringkas aja..dia tidak menyebutkan Syaikh yang dimintainya pertimbangan.. mungkin tulisan rilisnya baik,tapi tidak benar, dan terlalu lancang menuduh Asatidz bahkan termsuk syaikh Hani menyampaikan berita dusta..padahal syaikh Hani telah menyatakan bahwa Beliau sudah mengetahui sikap aneh AMDZ sebelum tiba di indonesia..kalau dia bukan pengikut halabiy, boleh jadi dia secara terpisah membuat kaidah yang sama dengan halaby,lalu apa bedanya?
Lantas apa artinya dia mengaku-aku tidak akan merubah dan menukar manhaj salaf atau berlepas diri dari al halaby? Allahul Musta’ an.

7.Soal di tanyakan kepada Ustadz Hamzah Rifai La Firlaz Hafizhahullah

Bismillah kayf Ustadz Nasehat Antum terkait Bayan Dzulqarnain terhadap Fatwa Syaikh Rabi’?
Jawaban Ustadz Hamzah Rifai La Firlaz Hafizhahullah
Subhanallah. Ana terkejut dengan Bayan yang diungkapkan oleh Dzulqarnain. Benar apa yang dikatakan Syaikh Rabi’ tentang dirinya. Semakin jelas dengan sanggahan yang dia tampilkan. Orang ini semakin terlihat sebagai seorang yang Mutalawwin. Pernyataannya tidaklah lantas menjadikan dirinya semakin tersembunyi, justru semakin memperjelas keadaan.
Dzulqarnain bukanlah orang yang Jahil dalam bahasa Arab. Pasti dia memahami arti kalimat
و يمشي على طريقة الحلبي في المكر
Syaikh mempersamakan dia dalam “Thariqah” semisal dengan Ali Al Halaby “Dalam Berbuat Makar”. Bukan disebutkan dia pengikut Al Halaby.
Tapi dia tampakkan dirinya seakan tertuduh sebagai pengikut Al Halaby. Terlihatlah dia seorang yang La’aab Mutalawwin. Dia hendak mengkaburkan permasalahan, sehingga menjadi samar. Dia gambarkan seakan dirinya seorang yang terzdalimi dan korban kedustaan.
Wahai saudara kami Dzulqarnain,
Apa yang membuat pandanganmu tertutupi ?
Bukankah kejujuran itu indah ?
Bukankah Inshaf itu menyenangkan ?
Tidak ada cela dan salah bagi orang mau berbuat jujur.
Jangan membuat permainan dan beragam tipuan lagi kepada saudara-saudaramu. Tidakkah nanti di hari Akhirat itu menjadi kegelap gulitaan ?
Saudara-saudaramu Asatidzah, bukanlah hendak menjerumuskan dirimu. Tetapi hendak memperbaiki keadaanmu dan menjaga keutuhan Dakwah Salafiyyah dari makar dan tipu dayamu.
Syaikh Rabi’ berucap bukanlah dibangun di atas kejahilan, tapi di atas Ilmu yang Haq. Ini bukanlah perkara yang tertutupi lagi. Beliau bukan orang yang asing tentang dirimu. Beliau sudah tahu watak dan kondisimu dihadapan atau di belakang.
Sudah terlalu banyak type dan karakter orang yang beliau hadapi, termasuk karaktermu yang ternyata semisal dengan Ali Al Halaby. Itu bukanlah kesimpulan angan-angan belaka. Tapi di atas Ilmu.
Semakin memperjelas adalah berita yang dibawa Asatidzah Al Afadhil. Berita yang dibawa itu bukanlah mimpi ataupun tuduhan. Tapi kenyataan dalam majlis dan statement2mu. Terekam, tersebar, terdengar, tersaksikan yang hasilnya merusak, mengaburkan, membingungkan.
Apakah mungkin sesuatu yang tersebar dan tersaksikan akan kamu tuduh sebagai kedustaan ?
Terheran, ada apa dengan dirimu ?
Sebagai kasih sayang dan cinta kepada kami, salafiyyin, dan dirimu sendiri, maka Ucapan Syaikh Rabi’ menjadi Obatnya. Obat itu hanya bisa diresepkan oleh Ahlinya, dan hanya Allah semata Yang Menyembuhkan. Semoga Allah Memperbaiki keadaan kami dan dirimu. Wallahu Al Mustaan.

8.Soal ditanyakan kepada Ustadz Ahmad Khadim Hafizhahullah

Bismillah Kayf Ustadz Apa Nasehat Antum Atas bayan Dzulqarnain terkait Fatwa Syaikh Rabi’?
Jawaban Ustadz Ahmad Khadim Hafizhahulloh.
“Setelah membaca tulisannya tersebut Ana cuma bisa menanggapi rusaknya / jeleknya pemahaman dia, sebagai mana jeleknya pemahaman Dia ketika memahami perkataan Syaikh Rabi’ Utruku Asbabal Khilaf, Dia memahami ucapan Syaikh tersebut dengan mengatakan tidak usah membahas Radio Rodja karena itu akan menyebabkan perpecahan hal ini ana dengar dari Ustadz Asykari ketika Beliau menelpon Ana.